Ada
apa ya dengan perayaan tahun baru Saka? Tahun baru Saka yang dirayakan oleh
umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali tidak dirayakan seperti tahun baru
yang lain. Tidak ada kembang api, pesta, maupun kemeriahan lainnya. Yang
terlihat pada saat tahun baru saka hanyalah jalanan kosong, tidak ada kendaraan
berlalu lalang, rumah-rumah terkunci rapat dan sepi, yang terlihat hanyalah
beberapa orang Pecalang yang menggunakan saput poleng. Dan lagi, suasana malam
di tanggal 1 pun begitu gelap, jauh dari kesan-kesan tahun baru. Semuanya
terasa begitu “sepi”. Inilah yang membuat tahun baru Saka disebut pula hari
Nyepi. Pertanyaannya adalah mengapa? Dan bagaimana sebenarnya pelaksanaan itu
sesungguhnya? Oke, bagi kamu yang haus akan tambahan wawasan, ngiring sareng-sareng
ngwacen artikel puniki!
Jika
kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan
makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang.
Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan
tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga)
mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan
spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.
Tawur
Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri
manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata “tawur” berarti
mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil
sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan
mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu
dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus
ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam
jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi
ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam
merayakan pergantian Tahun Saka.
Menyimak
sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai
kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik
sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern
sekarang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan
perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini
tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan
perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan
akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah
mengkhususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar
nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala
tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan
masyarakat tertentu.
CATUR BRATA PENYEPIAN
Pelaksanaan
yang utama dari Nyepi sendiri adalah Brata
Penyepian yang telah dirumuskan kembali oleh Parisadha Hindu Dharma
Indonesia menjadi Catur Brata Penyepian.
Catur Brata Penyepian adalah empat hal yang wajib dilaksanakan pada saat Nyepi
untuk meningkatkan kesadaran dan control terhadap indriya. Inilah
bagian-bagiannya…
1.
Amati
Gni atau tidak menyalakan api. Ini tidak
hanya berarti api sesungguhnya, melainkan pula api dalam tubuh kita, seperti
kemarahan termasuk pula kita disarankan untuk melaksanakan upawasa untuk memadamkan “api” di dalam tubuh kita.
2.
Amati
Karya atau tidak bekerja. Yang ini sudah jelas
ya… kita tentu tidak ada yang bekerja ataupun sekolah pada hari Nyepi, kan hari
libur nasional. Tapi bukan berarti kita harus “ngebo” seharian di tempat tidur.
Tidak bekerja dimaksudkan untuk menyediakan waktu bagi kita untuk merenung dan
mencamkan apa yang sudah kita perbuat selama setahun ke belakang ini.
3.
Amati
Lelungaan atau tidak bepergian. Jika kita melanggar
ini, tentu bapak-bapak Pecalang sudah
siap untuk “mengamankan” kita. Tapi bukan itu alasannya. Tidak bepergian agar
kita dapat melakukan tapa brata yoga Samadhi di rumah dengan tenang dan
khusyuk.
4.
Amati
Lelanguan atau tidak bersenang-senang. Inilah
uniknya… tahun baru justru kita tidak boleh mengumbar kesenangan. Kita
disarankan untuk memulai semuanya dengan suci dan bersih, tidak mengumbar hawa
nafsu, dan mengontrol indriya kita.
Pada
prinsipnya, saat Nyepi, indriya kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi.
Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga
kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang
khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.
Yang
terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang
jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap
untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan
memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk
melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa,
mona, dhyana dan arcana.
Upawasa
artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam
agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci.
Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana,
yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan.
Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau
tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus
dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh
ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa.
Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu
dilakukan dengan penuh keikhlasan.
OGOH-OGOH DAN KAITANNYA TERHADAP PELAKSANAAN NYEPI
Nah,
satu lagi yang bikin hari Nyepi jadi tambah unik. Apalagi kalau bukan pawai ogoh-ogohnya. Tradisi yang bermula di
Bali ini sekarang sudah menjadi ciri khas Nyepi dan sudah dilaksanakan hampir
di seluruh wilayah Bali bahkan di beberapa daerah di luar Bali dan di luar
negeri. Pawai ogoh-ogoh memang senantiasa menyita perhatian kita di setiap
Tilem Kasanga, sehari sebelum Nyepi. Antusiasme umat untuk menyemarakkan Nyepi
dengan ogoh-ogoh sangat tinggi. Namun, apakah sebenarnya hubungan ogoh-ogoh
dengan Nyepi itu sendiri? Apakah ogoh-ogoh merupakan sesuatu yang wajib
dilaksanakan?
Banyaknya
versi yang beredar di masyarakat Bali yang menjelaskan tentang awal mula
munculnya ogoh-ogoh. Agak sulit sebetulnya menentukan kapan awal mula ogoh-ogoh
muncul. Namun, diperkirakan ogoh-ogoh tersebut dikenal sejak jaman Dalem
Balingkang. Pada saat itu ogoh-ogoh digunakan pada saat upacara Pitra
Yadnya. Pitra Yadnya adalah upacara pemujaan yang ditujukan kepada para pitara
dan kepada roh-roh leluhur umat Hindu yang telah meninggal dunia.
Namun
ada pendapat lain yang menyebutkan ogoh-ogoh tersebut terinspirasi dari Tradisi
Ngusaba Ndong-Nding di Desa Selat Karangasem. Perkiraan lain juga
muncul dan menyebutkan barong landung yang merupakan perwujudan dari Raja Jaya
Pangus dan Putri Kang Cing Wei (pasangan suami istri yang berwajah buruk dan
menyeramkan yang pernah berkuasa di Bali) merupakan cikal-bakal dari munculnya
ogoh-ogoh yang kita kenal saat ini. Informasi lain juga menyatakan bahwa
ogoh-ogoh itu muncul tahun 70 – 80-an. Ada juga pendapat yang menyatakan ada
kemungkinan ogoh-ogoh itu dibuat oleh para pengerajin patung yang telah merasa jenuh
membuat patung yang berbahan dasar batu padas, batu atau kayu, namun di sisi
lain mereka ingin menunjukan kemampuan mereka dalam mematung, sehingga timbul
suatu ide untuk membuat suatu patung dari bahan yang ringan supaya hasilnya
nanti bisa diarak dan dipertunjukan.
Ogoh-ogoh
sendiri memiliki peranan sebagai simbol prosesi penetralisiran
kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan Bhuta (kekuatan alam). Ogoh-ogoh yang
dibuat pada perayaan Nyepi ini merupakan perwujudan Bhuta Kala yakni perwujudan
makhluk yang besar dan menyeramkan.
Ogoh-ogoh
merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia. Tradisi ini
mengingatkan masyarakat Bali khususnya. Selain itu, ogoh-ogoh diarak keliling
desa bertujuan agar kekuatan negatif yang ada di sekitar desa agar ikut bersama
ogoh-ogoh. Ritual meminum arak bagi orang yang mengarak ogoh-ogoh di anggap
sebagai perwakilan dari sifat buruk yang ada di dalam diri manusia. Beban dari
berat yang mereka gendong adalah sebuah sifat negatif, seperti cerminan
sifat-sifat raksasa, ketika manusia menyadari hal ini.
Akhir pengarakan ogoh-ogoh, masyarakat
akan membakar figur raksasa ini, boleh jadi dikatakan membakar (membiarkan
terbakar habis) sifat-sifat yang seperti si raksasa. Ketika semua beban akan
sifat-sifat negatif yang selama ini mengambil (memboroskan) begitu banyak
energi kehidupan seseorang, maka seseorang akan siap memulai sebuah saat yang
baru. Ketika segalanya menjadi hening, masyarakat diajak untuk siap memasuki
dan memaknai Nyepi dengan sebuah daya hidup yang sepenuhnya baru dan berharap
menemukan makna kehidupan yang sesungguhnya bagi dirinya dan segenap semesta.
Jadi, kesimpulannya…
Pada
hakekatnya, hubungan hari raya Nyepi dengan Ogoh-ogoh sebenarnya tidak ada
kaitannya sama sekali, sudah di jelaskan bahwa dari lontar manapun Ogoh-ogoh
tidak mutlak harus di buat sebagai sarana upacara pada saat hari raya
Pengrupukan.
Ogoh-ogoh baru muncul pada awal tahun 70 –
80-an karena adanya spontanitas dari masyarakat dan kalangan remaja umat Hindu
cetusan dari rasa semarak untuk memeriahkan upacara pengerupukan, maka jelaslah
ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap
boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar
disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala dan juga
jangan sampai menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu.
Ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok
selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan keamanan. Selain itu, ogoh-ogoh
itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan
pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti,
yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara.
Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh
sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya
yang tinggi yang dijiwai agama Hindu apalagi di era globalisasi ini. Ogoh-ogoh
di jadikan sebagai sarana untuk menarik wisatawan mancanegara untuk datang ke
Bali melihat pertunjukan arak-arakan Ogoh-ogoh sehingga dapat menumbuhkan
ekonomi masyarakat Bali.
Akhirnya, kami,
DPS-OSIS SMA Negeri 1 Singaraja Masa Bhakti 2014-2015 mengucapkan
RAHAJENG
NYANGGRA RAHINA NYEPI 1937 SAKA!
Ngiring tincapang
baktine soang-soang malarapan antuk ngelaksanayang Catur Brata Penyepian.
Suksma :)
*Dikutip dari berbagai sumber dengan perubahan seperlunya*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar diketik di sini yach...